EVALUASI PROYEK
SHADOW PRICE


Hasil gambar untuk logo unri



RUDY HERY SYAHFUTRO
1506110179



JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018

I.       PEMBAHASAN
1.1.  Defenisi shadow price
Shadow Price (harga bayangan) atau disebut juga Accounting Prices dapat dianggap sebagai suatu penyesuaian yang dibuat oleh si penilai proyek terhadap harga-harga pasar beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu, berhubung harga-harga pasar itu dianggap tidak mencerminkan/mengukur biaya atau nilai sosial yang sebenarnya (social opportunity cost) dari unsur-unsur atau hasil produksi tersebut. Shadow Price dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost, yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif yang terbaik. Dalam analisis proyek terdapat arus benefit dan biaya:
a.       Benefit suatu proyek berbentuk output (hasil produksi), yang dapat terdiri dari barang fisik atapun jasa.
b.      Biaya merupakan input yang digolongkan dalam dua kelompok:
1.      Sarana produksi atau bahan baku serta barang dan jasa intermediate yang dibeli dari produsen. Sama hal nya dengan output, harga ditentukan berdasarkan jenis barang (tradeable atau non tradeable).
2.      Faktor produksi. Setelah pembelian sarana produksi, sumber-sumber finansial yang tersedia untuk suatu proyek dibagi menurut pembiayaan atas faktor-faktor produksi yang dipekerjakan dalam proyek, yaitu tenaga kerja dan modal.
1.2.  Shadow price sebagai faktor penyesuain terhadap penyimpangan harga pasar dari penilain sosial
Shadow Price dianggap sebagai faktor penyesuaian yang dibuat oleh si penilai proyek terhadap harga-harga pasar daripada hasil, sarana ataupun faktor produksi tertentu, berhubung harga-harga pasar itu dianggap tidak mencerminkan/ mengukur biaya atau nilai sosial yang sebenarnya (yaitu, yang disebut dengan social opportunity cost.
Penyimpangan-penyimpangan harga pasar dari social opportunity cost terutama disebabkan oleh kebijakansanaan-kebijaksanaan pemerintah yaitu pajak, subsidi, maupun pengaturan harga dan upah. Ini dapat jelas terlihat melalui contoh sederhana. Bagi seorang pelaksana proyek, harga pasar suatu sarana yang dipakai dalam proyek. Pajak hanyalah merupakan pemindahan uang kepada pemerintah, dari pihak konsumen, dari pihak produsen, atau sebagian dari konsumen dan sengaian dari produsen, tergantung pada siapa yang menanggung beban pajak tidak langsung tersebut.
Harga dianggap tidak mencerminkan harga pasar jika:
a)      Tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang diciptakan suatu proyek.
b)      Tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumber atau hasil telah dipilih untuk dipakai dalam suatu proyek tertentu.
1.3.  shadow price sebagai variabel makro
Shadow Price dari faktor produksi umumnya ditentukan oleh saling dipengaruhinya penawaran dan permintaan terhadap faktor produksi tersebut pada tingkat perekonomian secara keseluruhan. Jadi, tanggungjawab perencana pusat termasuk untuk mengukur shadow price dan menetapkan nilai-nilai yang tepat untuk dipergunakan dalam perencanaan sektoral atau proyek. Penerapan shadow price berdasarkan data yang berlaku di tingkat sektoral ataupun proyek tertentu dapat mengelirukan.
Tiap penggunaan shadow price yang berbeda dengan patokan umum dan tiap pengecualian dari penerapan suatu shadow price hendaknya dibahas dengan/disetujui oleh instansi perencanaan pusat.
Penggunaan Shadow Price yang sering dipakai adalah dari faktor:
1)      Modal
2)      Tenaga kerja tak terdidik
3)      Devisa
4)      Pangan (berupa bahan makanan pokok dalam masyarakat, misalnya beras)
5)      Penerimaan negara yang bebas untuk dialokasikan (tidak terikat pelunasan utang, gaji pegawai negeri dsb)
Perencanaan pusat bertanggung jawab untuk mengukur shadow price dan menetapkan nilai-nilai yang tepat untuk dipergunakan dalam perencanaan sektoral atau proyek. Shadow price yang khusus untuk suatu sektor/proyek tertentu berlaku hanya dalam hal adanya pembatasan administrasi dalam pasar.
Macam-macam penggunaan Shadow Price:
1.4.  Shadow Price Modal
Discount Rate Sosial dapat dianggap sebagai biaya, yaitu berupa bungan yang harus ditutupi oleh perusahaan sebelum proyek tersebut dianggap menguntungkan. Harga pasar yang ada hubungannya dengan opportunity cost faktor modal adalah tingkat bunga yang dibebani kepada penanam modal atau penyelengara proyek sehubungan dengan pinjaman modal untuk investasi yang bersangkutan. Benefit yang seharusnya dapat diperoleh sehubungan dengan penggunaannya dalam kegiatan lain menjadi dikorbankan. Dalam hal ini tingkat bungan finansial menjadi benefit alternatif yang dikorbankan. Di pasar modal Indonesia tingkat bunga yang berlaku, baik yang dibebani oleh lembaga pembiayaan pembangunan atau bank komersial diatur oleh pemerintah dalam rangka meringankan beban finansial para pemakai kredit termasuk instansi pemerintah.
1.5.  Shadow Wage Tenaga Tak Terdidik
Shadow wage tenaga kerja tak terdidik sama dengan social opportunity cost pada shadow price faktor modal, nilai produksi yang dikorbankan dalam kegiatan lain karena orang itu dipekerjakan diproyek X.
Gagasan shadow price dikembangkan tahun 1950-an, dengan perhatian yang terpusat pada masalah pengangguran di negara berkembang, baik pengangguran terbuka maupun pengangguran terselubung (orang yang memang aktif mencari penghasilan, tetapi produktivitasnya sangat rendah). Seorang pengangguran tidak berproduksi, maka shadow wage yang sebenarnya sama dengan nol.  Namun ada juga yang mengasumsikan bahwa penggunaan tenaga kerja tak terdidik tidak mempunyai opportunity cost.
   Di perekonomian modern berhubungan erat dengan penciptaan kesempatan kerja melalui kegiatan ekonomi. Artinya, yang menarik tenaga kerja untuk datang dari daerah pedesaan dan menetap di kota atau lain daerah pembangunan bukannya tawaran tempat kerja yang mantap, melainkan kemungkinan mendapat pekerjaan yang memberikan tingkat pendapatan riil diatas tingkat yang dinikmati di pedesaan. Penampungan tenaga kerja dalam proyek pembangunan, walaupun tenaga penganggur, secara tidak langsung mempengaruhi tingkat produksi di pedesaan. Pengorbanan produksi tersebut diambil sebagai social opportunity cost faktor produksi tenaga kerja tak terdidik.
1.6.  shadow price devisa
shadow price faktor devisa, yang disebut juga shadow exchange rate, merupakan suatu nilai tukar implisit, misalnya harga satu dollar dinyatakan dalam rupiah. Angka itu dapat menyimpang dari nilai tukar resmi, yang pada akhir tahun 1990 bernilai kira-kira Rp 1850 per dollar, tergantung pada tingkat ketidakseimbangan yang berlaku antara permintaan dan penawaran dalam pasar devisa. Nilai tukar implisit merupakan koefisien untuk menilai semua jenis barang dan jasa yang bersifat tradeable.
Sejauh menyangkut penerapan shadow exchange rate, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menilai segala jenis sarana dan benefit yang bersifat tradeable menurut border pricenya yang dinyatakan dalam dollar.
Langkah selanjutnya adalah mengalikan nilai –nilai sarana dan benefit itu dalam dollar dengan shadow exchange rate. Hasil perkalian ini memberikan nilai dalam rupiah yang kemudian dimasukan dalam arus pendapatan dan biaya proyek.
Perhitungan shadow exchange rate dimulai dengan pertanyaan : andaikata satu satuan devisa ($1,00) tidak terjadi dipergunakan dalam proyek A untuk apa dipergunakan nanti? Salah satu pendekatan dalam menjawab pertanyaan ini adalah mengukur objek pengeluaran negara yang bersangkutan melalui devisa tambahan yang diperolehnya antara dua tahun terakhir. Andaikata dalam dua tahun terakhir ini negara tersebut mempergunakan tambahan devisa itu membeli q1+q2+…+qn = ∑qi’ dimana q1 melambangkan jumlah tambahan jenis barang I, maka dapat diasumsikan bahwa pembeli yang akan dibuat dengan devisa tambahan yang tersedia dimasa datang tidak akan terlalu berbeda dari pola pembelian tersebut.
1.7.  shadow price pangan
Harga pangan dapat didefiniskan sebagai harga rata rata yang dibobotkan dari satu kilogram bahan pokok, terutama beras, termasuk juga jenis – jenis pangan lain yang menjadi objek konsumsi masal seperti biji-bijian lain atau gaplek. Pembobotan dilakukan menurut volume konsumsi masing-m,asing jenis pangan.
Dari segi ekonomi, salah satu langkah yang perlu diambil dalam membina pembangunan industri adalah membuat harga pangan sedekimian murah gunan menekan upah tenaga kerja. Kebijakan itu sekaligus cenderung menambah tersedianya tenaga kerja dikota, berhubung perkembangan bidantg pertanian serta kesempatan kerja di sektor itu menjadi terhambat, dengan demikian, urbanisasi dipercepat (meskipun dampak tersebut tidak selalu dipahami oleh pembuat keputusan). Begitu juga, kebijakan pangan murah dianggap memungkinkan perluasan sektor pemerintah karena kemampuan pemerintah untuk mempekerjakan pegawai negeri mejadi bertambah dengan semakin rendahnya gaji.
Akan tetapi, penerapan kebijakan tersebut sekaligus menciptakan tekanan politis yang menyulitkan usaha mengembalikannya ketingkat yang seharusnya. Penduduk kota mengganggu stabilitas pemerintah apabila taraf hidup mereka menjadi terganggu oleh kenaikan harga pangan yang tinggi.
1.8.  shadow price Penerimaan negara
Seperti halnya untuk shadow price pangan, shadow price penerimaan negara jarang diukur ataupun diakui secara eksplisit. Namun demikian, makin lama makin tersebar kesadaran dikalangan lembaga pembiayaan investasi bahwa, mengingat keterbatasan finasial yang melanda sektor negara di banyak negara berkembang, perlu dilakukan upaya untuk membatasi beban terhadap anggaran belanja nasional yang disebabkan oleh pelaksanaan proyek-proyek pembangunan. Dapat dikemukakan bahwa cara terbaik untuk mencapai hal itu adalah melalui penilaian pengeluaran yang dibiayain oleh APBN, maupun pendapatan pemerintah yang diciptakan proyek, dengan premi di atas nilai nominalnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Choliq, R.A. Rivai Wirasasmita, and Sumarna Hasan. 1999. Evaluasi Proyek: Suatu Pengantar. Pionir Jaya. Bandung.
Clive Gray.et.al. 2007. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Kedua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kadariah, Lien Karlina, dan Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek: sebuah teks. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Umar, Husein. 2001. Study Kelayakan Bisnis Edisi 3 Revisi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.